Minggu, 16 Maret 2014

06.40 - No comments

Pulang! (12-akhir)

          Tidak.  Jika kau mengira aku akan menerima Tyo, kau salah besar. Aku tak segila itu. Belum segila itu, tepatnya.
Aku menolak Tyo dan memilih untuk tetap bersahabat dengannya saja. Aku juga agak menjauh darinya. Namun Tyo adalah anak yang sangat berbesar hati. Dia menerima keputusanku dan tetap bersikap seolah aku tak pernah menolaknya.

“Adeeeek sayaaang!”
Pagi itu aku terbangun dengan setengah sadar karena mengenali suara itu. Begitu memakai kacamataku dan melihat sesosok wajah itu, aku segera bangkit dan memeluknya. Rama pulang!
Kriiiiiinnggggg!!!
Jam wekerku membuatku terlempar kea lam sadar. Ah, ternyata tadi hanya mimpi. Kumatikan jam weker, kupakai kacamataku, dan segera bangkit.
Hari ini hari Minggu. Sudah tepat tiga bulan yang lalu Rama berngkat ke Jakarta. Sedang apa ya dia sekarang? Apa dia sudah punya cewek lain? Ah…
Kuperhatikan fotoku dan Rama yang terpajang di meja belajar. Aku tersenyum kecil melihat wajahnya di sana. Aku ingat kapan foto itu diambil. Waktu aku dan dia sedang jalan-jalan di kebun teh, lalu kami selfie. Tapi saat hendak berfoto, ada seekor anjing yang menghampiri kami dan jadila ekspresi yang lucu seperti ini. Ahh.. Rindu.
“Miss me?” pintu kamarku dibuka. Aku menoleh kaget.
“Rama?” aku tak mempercayai pandanganku. Oke, mungkin ini mimpi. Tapi aku terlalu kaget untuk mencubit diriku sendiri.
“Huh, ku kira aku akan mendapatkan pelukan erat dari tuan putriku.”
Aku menangis. “Kamu jahat! Kamu ke mana aja tiga bulan ini? Kenapa kamu nggak ngabarin aku?” Ku ambil bantal dan kulemparkan ke Rama.
Sambil melindungi dirinya dari serangan brutalku, dia menjawab,”Hey, hey! Tunggu. Kamu nggak buka email?”
“Email? Email apa? Bodo amat sama email! Kamu jahat! Kamu nggak tahu tiga bulan ini aku kayak apa!” Tangisku semakin menjadi-jadi. Dan karena tak ada benda yang bisa kulemparkan lagi ke arah Rama, aku hanya bisa duduk merosot di lantai dan menangis sambil memeluk kedua lututku.
“Sayang, maaf. HPku rusak. Aku ngga bisa kontak kamu sama sekali. Aku udah email kamu tapi nggak pernah kamu bales,” Rama mendekat dan membelai rambutku.
Aku mengangkat kepalaku, “Aku kira kamu punya pacar lain di sana. Kamu jahat. Kamu ninggalin aku sendirian di sini.”
“Sayang, maaf. Aku janji nggak akan ninggalin kamu lagi.”

Rama memelukku. Pelukkan yang lama kurindukan. 

06.15 - No comments

Yang Kedua (11)

          “Hei, bengong siang-siang! Ati-ati kesambet lho!”
          “Eh, kamu. Haha.. Siapa yang bengong coba?” elakku kaget melihat Tyo menghampiriku di kantin saat istirahat sekolah.
          “Kalo kamu ngga bengong kamu ngeliatin siapa dari tadi? Tiang?” godanya sambil melihat ke arah tatapanku tadi.
          “Iya. Tiang yang bisa main basket. Eh, maksudku, enggak, enggak ngeliatin tiang kok,” aku berusaha tertawa. Garing. Ya, sudah dua bulan tiga hari Rama di Jakarta dan tidak mengabariku. Cewek mana yang nggak khawatir pacarnya pergi jauh tanpa kabar?
          “Kamu kangen Rama kan?” Tanya Tyo tiba-tiba. Wajahnya berubah serius.
          “Tyo, cewek mana sih yang enggak kangen sama pacarnya?” aku tersenyum. Senyum paksaan.
          “Dan cowok mana sih yang rela liat cewek yang dia sayang sedih mulu gara-gara pacarnya yang ngabain dia?” Tyo tersenyum. Dia memegan tanganku tapi angsung kutepis. Jantungku berdebar. Ya Tuhan, apa maksudnya?
          “Kamu lagi naksir cewek ya? Siapa? Kok enggak pernah cerita sih?” tanyaku sok polos. Feelingku sudah tak enak.
          “Kamu.”
          “Ha?”
          “Ya, kamu. Aku sayang kamu.”
          “Tapi…”
          “Sejak pertama kali aku liat kamu masuk sekolah ini. Sejak pertama kali aku liat kamu di pinggir lapangan basket, sejak pertama kali aku liat kamu di kompleks perumahan.”
          Aku tak dapat berkata apa-apa lagi. Ini semua pasti mimpi! Tak mungkun seorang Tyo menyukaiku. Maksudku, dia teman Rama! Ini mustahil. Tapi tampaknya Tyo tidak bercanda. Sorot matanya mengatakan dia sedang serius.
          Sebenarnya Tyo adalah lelaki yang baik dan perhatian. Dia seperti Rama beda tubuh.
          “Jadi?” tanyaku memberanikan diri.

          Tyo tersenyum. “Aku mau jadi yang kedua.”