Jumat, 27 September 2013

05.51 - No comments

Apa kamu bisa seperti itu?

Kasih itu lemah lembut
Kasih itu memaafkan
Kasih murah hati
Kasih itu tidak pendendam
Kasih itu mau berkorban
Kasih itu saling melindungi
Kasih itu saling mencintai, ikhlas, apa adanya
Kasih itu segalanya
Kasih itu seperti apa dilakukan oleh Tuhan Yesus

Apa kamu bisa seperti itu?


05.45 - No comments

Speak up!!

Mungkin ini bakalan jadi postingan tersingkat gue.
Apa yang bakalan lo lakuin kalo lo liat cowok/gebetan lo foto sama cewek laen, padahal kalian sendiri juaraaaaaaaang banget foto bareng?

Selasa, 24 September 2013

05.56 - No comments

Moodbooster Kesasar

Nggak selamanya pacar lo bisa jadi moodbooster lo kapanpun dan di manapun. Nggak jarang, mereka justru jadi moodbreaker lo yang paling parah, dan siapa moodbooster lo? Orang ketiga, keempat, kelima, dst. Dan itulah yang bisa berujung dengan PERSELINGKUHAN :)
Sebenernya moodbooster itu nggak harus lawan jenis, dan dalam kasus kaum hawa adalah makhluk Tuhan yang namanya cowok.
Nggak jarang ada cowok yang dateng ke kehidupan kita dengan embel-embel 'temen', 'sahabat', 'temen curhat', 'kakak', 'abang', dst. Tapi ujung-ujungnya? "Lo mau nggak jadi cewek gue?" HA HA HA :'-----)
Terus apa yang bakalan lo lakuin? Lo pasti nolak tuh 'moodbooster kesasar' soalnya lo udah punya cowok. Tapi kalo lo udah ngerasain dan ngalamin sendiri kisah 'moodbooster' kesasar ini, lo bakalan pusing tujuh keliling :')
Gue sendiri udah beberapa kali ngerasain ini. Apalagi gue adalah tipe cewek yang welcome dengan siapa aja. Jadi gue juga lebih terbuka dengan temen-temen gue. Dan parahnya, gue sering banget jadi target dari 'moodbooster kesasar' ini.
Gue nggak pernah berharap buat ditembak sih, karena gue ngurusin pacar aja pusing, apalagi dua-tiga-empat-lima-pacar-dan-selingkuhan-lainnya :'))
Tapi yang jelas, nggak selamanya pacar bisa jadi moodbooster lo, dan terkadang lo butuh orang lain buat nge-moodbooster-in elo. Dan siapa mereka? Buka aja mata lo lebar-lebar, terkadang orang yang cuek dan nggak pernah ngajak ngomong elo adalah orang paling perhatian sama elo. Dan dia lah yang bisa jadi 'moodbooster kesasar' lo :)
Tapi ati-ati, moodboostering abadi lo adalah elo sendiri :)


05.43 - No comments

Mentari yang 'Angslup' Terlalu Cepat

Mungkin waktu itu aku terlalu dini memejamkan mata, dan akibatnya, dunia masih muram pun aku sudah terjaga, terjaga dari lelapku yang sama sekali tidak nyenyak.
Kuraba kasur di sampingku, kosong. Kelabakanku mencarinya. Ah, ini dia. Ku peluk Daniel dengan penuh rasa sayang, boneka teddy bear pemberian mantan kekasihku, Daniel. 
Bukannya aku lebih sayang kepada Daniel si Teddy Bear daripada kekasihku, tapi kini Daniel yang biasa memberikan pundaknya untuk kujadikan tempat mencucurkan air mata justru menjadi alasan utama kenapa aku kini makin kerap mencucurkan air mata. 
Daniel, lelaki bertubuh tegap bak pohon di tengah lapangan itu kini pergi. Meninggalkan aku, sendiri. Sedangkan dia asik bercumbu dengan gadis itu, gadis cantik sahabat baikku. Daniel, aku rindu kamu, jerit hatiku tiap kulihat Daniel menatap mesra gadis barunya. 
Daniel, kamu tahu? Kamu seperti kala sore itu, saat kau mencampakkanku begitu saja. Pukul 3 sore dan keadaan sudah gelap. Kamu, 'mantan' Daniel-ku, kamu seperti mentari yang 'angslup' terlalu cepat.

05.14 - No comments

Yang Jauh Mendekat Yang Dekat Menjauh (10)

Panas sekali siang ini, nggak seperti siang-siang sebelumnya. Tampaknya matahari ingin mengujiku.
Sudah hampir 2 bulan Rama di Jakarta dan mengikuti seleksi basket. Awalnya kami selalu telponan tiap malam, tapi perlahan kebiasaan itu mulai hilang. Kebiasaan Skype dan chatting tengah malam juga perlahan mulai hilang. Awalnya aku berusaha memahami bahwa Rama sibuk dan capek. Aku tahu. Resiko punya pacar seperti dia. Tapi lama-lama ini tidak bisa dibiarkan. Sudah seminggu dia tidak mengabariku, bahkan HPnya dimatikan! Sialan. Teman-teman basketnya juga tak ada yang tahu bagaimana kabar Rama.
“Kecantol cewek gaul di Jakarta kali, Clar,” ceplos Dewi. “Cewek Jakarta kan cantik-cantik. Memang sih kamu juga cantik. Tapi kan lebih enak punya pacar yang bisa deket kita kapan aja.” Kupelototi dia. Bukannya mendukung justru menjatuhkan mentalku. Kadang percuma curhat dengan Dewi, tapi dipikir-pikir iya juga ya. Sesibuk-sibuknya pacar kita, dia pasti ngabarin kan? Huft, Rama, kamu ke mana?

“Hai Clara, kamu pulang sendiri?” sapa Tyo, anak XI IPA 7, dia juga anak basket seperti Rama, tapi dia lebih menyukai pramuka ketimbang basket. Itu bisa dilihat dari kulitnya yang legam dan prestasi-prestasinya di bidang kepramukaan itu.
“Iya dong, kecuali kamu mau nganterin, haha, bercanda lho,” jawabku.
“Haha kok kamu tahu aku mau nebengin kamu? Kasian cewek secantik kamu jalan sendirian. Udah sore juga. Ayo pulang bareng aku aja,” tawarnya.
“Enggak ah makasih, masih jam 5 kok, udah biasa pulang sendiri.”
“Enggak apa-apa kok, ayo,” katanya sambil menepuk jok belakang motornya. Kulihat senyum tulus dari cowok yang digandrungi banyak cewek ini. Senyum dan lesung pipinya itu lho. Nggak nahan.
Aku mengalah, “iya deh, makasih lho ya,” aku naik ke jok belakangnya.
“Pegangan ya nona manis,” ujarnya sambil melajukan Ninjanya.
Tyo sebenarnya adalah cowok yang baik dan termasuk satu dari 10 most wanted di sekolahku. Tapi sikapnya yang kalem dan ramah terhadap siapa saja membuat banyak wanita menyerah. Dingin dan membuat penasaran, kata mereka.


Semenjak itu Tyo jadi baik padaku. Hampir tiap pulang sekolah aku diantarnya. “Rama salah besar ninggalin kamu sendirian. Istilahnya kayak ninggalin domba di tengah kawanan serigala lapar.” Begitu katanya. Aku sih enggak begitu tahu maskudnya. Tapi suatu saat aku bakalan tahu.

Senin, 23 September 2013

03.10 - No comments

Awal Babak Baru (8)

          “Wow! That sounds great, Rama! Kamu harus ambil job itu,” teriakku girang. Tak kupedulikan orang-orang di Starbucks yang melihatku dengan tatapan aneh setelah Bang Dika pergi meninggalkan kami berdua.
          Kami sudah bertemu dengan Bang Dika, ya meskipun kami terlambat 1,5 jam karena tidurku yang molor.
          Rama ditawari untuk mengikuti seleksi timnas basket 3 bulan lagi di Jakarta. Dan tentu saja kami, lebih tepatnya aku, sangat bersemangat. Bagaimana tidak? Ini akan membawa pengaruh besar bagi karier Dika!
          Tapi sepertinya Dika tidak beranggapan seperti aku. Dia masih saja berwajah kuyu dan lemas sambil menyeruput kopinya yang sudah mendingin.
          “Kamu kenapa sayang? Dapet job gitu malah sedih. Come on! “ kataku sambil menatap matanya yang layu. Bukan Rama banget.
          “Aku mau mau aja ambil job itu. Tapi kamu nggak tau. Kalau aku mau ikut seleksi itu, itu berarti selama 3 bulan ini aku bakalan ninggalin sekolah dan yang paling parah ninggalin kamu,” jawabnya lemas.
          “Ninggalin aku? Emang kalau mau ikut seleksi nggak boleh punya pacar?” tanyaku polos.
          “Iiiiih, sayaaang, maksudnya itu aku bakalan sibuk banget sama latihan-latihan dan jarang punya waktu buat kamu.”
          Aku tahu. Udah resiko punya pacar seperti Rama. Aku tersenyum, “Nggak apa-apa, Rama. Aku tahu kok, kamu pengen banget kan ikut tawaran Bang Dika? So, this is yours.” Kami tersenyum.


          Dear diary,
Aku heran, kenapa semua orang selalu mempermasalahkan perbedaan, terutama perbedaan agama ya?
Bukannya perbedaan itu indah dan menyatukan banyak hal? Bisa saling melengkapi kan?
Aku heran…
Tapi berdasarkan pengalaman beberapa orang, hubungan beda agama nggak berjalan dengan mulus. Kenapa ya? Bukannya mereka harusnya tahu konsekuensi yang bakalan didapet waktu mereka memutuskan untuk melangkah ke hubungan yang lebih serius?
Ah, aku bingung. Tapi aku rasa, aku dan Rama nggak akan seperti itu. Kami akan baik-baik aja J


          Kututup buku biruku. Ada fotoku dan Sylvi di halaman depan. Ah, sedang apa ya dia.

Senin, 09 September 2013

14.42 - No comments

It's The Shoot Time!! (7)


          18 September 2012, pukul 15.34, akhirnya resmi aku dan Rama menjadi sepasang kekasih.
          Seminggu setelah dia menciumku dan mengatakan isi hatinya, kami semakin dekat dan saat itu, sepulang sekolah, Rama mengajakku ke sebuah tempat.
          “Clara, sumpek nih, tiap hari isinya ulangaaaan mulu. Boros,” keluhnya saat itu. Aku hanya tersenyum.
          “Namanya juga anak IPA, Ram. Maklum deh. Lagian kan kamu tiap pulang sekolah udah refreshing,” jawabku.
          “Refreshing apa? Main basket? Itu latihan buat lomba adeeek,” katanya sambil mencubit pipiku. Rama mulai memanggilku ‘adek’ hanya karena dia lebih tua 1 bulan 1 minggu dariku.
          “Sama aja. Pulang yuk. Karya ilmiahku belum kelar. Eh, tapi kamu basket ya. Ya udah, aku tunggu di perpus ya,” kataku lalu ngeloyor pergi meninggalkan Rama menuju perpustakaan.
          “Eh eh, siapa bilang kamu boleh pergi gitu aja? Ha?” Rama menarik tasku dan membuatku nyaris terjatuh di pelukannya.
          “Ya kan kamu ada latihan basket.”
          “Khusus hari ini enggak kok. Ayo, aku butuh hiburan.” Rama segera menarikku untuk lari menuju parkiran. Lari dari pelatihnya yang berteriak memanggil namanya karena tahu Rama akan cabut untuk hari itu. Dasar Rama.
          Sepanjang perjalanan kami sama-sama membisu. Aku tak tahu Rama akan membawaku ke mana. Yang jelas dia kakn membawaku ke suatu tempat yang kata dia kurindukan.
          Motornya semakin menanjaki bebukitan dan jalanan yang terjal. Aku hanya terdiam dan memeluk pinggan Rama.
          “Yak, sampai,” ujarnya setelah kira-kira 1 jam perjalanan.
          Aku segera turun dari motornya dan melihat ke pemandangan sekitar. Bukit! Aku rindu alam. Dan Rama benar-benar membawaku ke tempat yang sangat aku rindukan ini.
          “Rama… Ini..” kataku takjub. Dia memang hanya membawaku ke sini. Namun tempat ini benar-benar mirip tempat favoritku di Biak.
          “Sttt, ini semua demi kamu, Clara. Aku sayang kamu. Kamu mau jadi pacarku?” Rama berlutut di depanku dengan memberiku seikat bunga favoritku. Mawar putih dan mawar biru.
          “Rama…” Aku tak bisa melanjutkan kata-kataku. Takjub. Ku peluk Rama. “Aku juga sayang kamu, Rama.”


          “Adek keboooo, bangun!” teriak seseorang di kamarku.
          “Aaaah, mamaaa, ini kan hari Minggu. Aku kan….” Tunggu, adek kebo? Hanya Rama yang memanggilku seperti itu. Nyawaku langsung berebutan masuk ke dalam ragaku dan sontak aku terbangun. Kaget melihat sosok tampan Rama di depanku yang sedang tertawa lebar. “Aaaaaaaahh!!!!!” teriakku. Rama membekap mulutku.
          “Hushhh, liat pacar sendiri kayak liat setan aja. Huh,” Rama memalingkan tubuhnya. Memulai aksi merajuknya.
          “Ah, sayang, kamu sih. Pagi-pagi udah nongol di kamarku. Kok bisa sampe sini sih?” tanyaku penasaran.
          “Mama kok yang nyuruh. Abis kamu dibangunin mama gak bangun-bangun daritadi. Dasar kebo. Katanya mau nemenin aku ketemu Bang Dika.” Oh, God! Aku benar-benar lupa hari ini aku berjanji untuk menemani Rama bertemu dengan pelatih basketnya. Tak biasanya Bang Dika meminta Dika untuk bertemu secara intim. Emm, tidak di sekolah maksudku.
          “Maaf, aku lupa. Kecapekan kemarin habis ngeliput pensi sampe pagi. Aku mandi dulu deh.” Aku segera lompat dari kasur dan bersiap-siap untuk mandi. Tapi Rama segera memelukku dari belakang. “Aku kangen kamu Clara.”
          Aku menghembuskan nafas panjang. Kami sama-sama sibuk akhir-akhir ini. Dia sibuk dengan pertandingan-pertandingan basketnya dan aku sibuk dengan kegiatanku sebagai freelance writer  di majalah sekolah dan sebuah majalah remaja local.

          “Aku juga kangen kamu, Rama.” Kami berpelukan.

Jumat, 06 September 2013

13.54 - No comments

Kiss Me? (6)

“Clara, kamu nggak sholat?” Tanya Rama saat istirahat sekolah. Aku tersenyum, “Aku enggak sholat, Rama.” Rama mengerutkan keningnya.
          “Lagi halangan?” tanyanya sambil menunggu teman-teman lainnya yang bersiap untuk sholat bersama.
          “Aku non, kok,” jawabku singkat. Bibir Rama membentuk huruf ‘o’ lalu meninggalkanku sendirian.
                         
          Tiap kuingat saat itu, agak miris. Saat Rama menawarkanku untuk beribadah bersamanya dan kutolak karena kami tidak meyakini hal yang sama dan sejak itu Rama agak menjauh dariku. Awalnya aku berusaha untuk berpikir positif bahwa Rama memang sedang sibuk karena memang, saat itu Rama akan mengikuti Walikota Cup.
          Tapi aku tetap menungguinya latihan basket. Tapi tak jarang dia memintaku untuk pulang duluan. Padahal dengan senang hati aku akan menungguinya. Atau dia minta salah satu teman tim basketnya untuk mengantarku pulang sedangkan dia tak tahu pergi kemana.

          Kata-kata Dewi, sahabatku, saat dia datang ke Semarang, kembali mengiang di telingaku.
          “Kalian beda agama?” tanyanya.
          Aku mengangguk lesu. “Dia tahu?” tanyanya lagi. Kudelengkan kepalaku lunglai. Dewi menarik nafas panjang.
          “Beri tahu dia. Sebelum hubungan kalian menginjak ke tahap serius,” nasehatinya.
          “Tapi buat apa? Iya kalau dia suka sama aku. Kalau enggak? Nggonduk.
          “Clara, kamu mau kayak ayah ibu kamu?” Tanya Dewi lagi.
          Aku terdiam. “Jangan bahas itu, Dewi.” Jawabku dingin. Dewi menghempaskan tubuh tambunnya di kursi cafĂ©.
          Ayah dan ibu menikah beda agama dan kehidupan pernikahan mereka tidak selamanya mulus. Setelah bertahun-tahun bertengkar, pisah ranjang, rujuk, pisah ranjang, akhirnya mereka berdua memutuskan untuk berpisah. Setidaknya itulah cerita yang kutahu dari Nenekku, ibu dari ibuku.

          Aku galau. Sepertinya rasaku untuk Rama sudah makin memuncak dan kurasa rasa ini sudah berubah menjadi rasa cinta.
          Di kelas, aku sering memergoki Rama sedang memandangiku. Bukannya GR, tapi Nana pun juga mengatakan kalau aku sedang “dimata-matai” oleh Rama. Ah, Rama. Dia benar-benar mogok berbicara denganku sekarang. Tepatnya semenjak dia tahu bahwa kami berbeda keyakinan.
         
          Suatu pagi, Rama mencegatku di depan gerbang perumahan.
          “Stop. Kita selesaikan sekarang,” ujarnya garang.
          “Selesaikan apa?” jawabku tak mengerti. Rama mencengkeram kedua bahuku dan mendorongku ke tembok. “Rama! Lepas! Atau kupanggilkan…”
          Dengan cepat Rama mengecup bibirku. Aku terdiam. Kami terdiam.
          Rama tersenyum nakal, “Maaf, tuan putri hamba lancang.”
          Ahh, Rama.. Tadi… Aku kehabisan kata-kata. “Kamu… Aku…” kataku lirih.

          “Ah, iya, iya. Aku sayang kamu, Clara.” Rama memelukku. Erat. Kami berpelukan. Tubuhku lemas.

Kamis, 05 September 2013

15.21 - No comments

Kami Berbeda (5)

Gara-gara tragedi ‘tendangan maut’, sekarang aku dan Rama selalu berangkat dan pulang sekolah bersama. Dan tentu saja itu tak pelak membuat gossip yang segera berhembus dengan kuat.
          Tiap ku berjalan dengan atau tanpa Rama, semua orang pasti melihat ke arahku dan berbisik-bisik.
          Dan ketakutanku yang terbesar akhirnya menjadi kenyataan pada suatu pagi. “Heh, lo pacaran sama Rama?” Sela mendorong tubuhku kasar ke tembok saat aku baru saja keluar dari kamar mandi, satu-satunya tempat di mana Rama tak bisa mengikutiku.
          “Aku? Enggak kok,” jawabku agak gemetar. Ternyata benar kata Nana, Sela dkk sangat menakutkan dari jarak dekat. Emm, kau tahu singa baru beranak? Ini lebih mengerikam dari itu.
          “Bohong! Kalo kamu nggak pacaran sama dia, kenapa tiap hari kalian lengket banget kayak perangko gitu? Pasti kamu godain Rama-ku ya!” desak Sela sambil diikuti ‘anak buahnya’ yang melihatku dan menatapku melecehkan.
          “Enggak. Aku enggak pacaran sama Rama. Dan aku enggak godain dia! Rama-mu? Oh,” jawabku ketus. Ah, sebal! Rama-ku, Rama-mu. Bah, kayak cowok itu beken saja!
          “Hei, apa-apaan kalian? Kamar mandi bukan untuk main keroyokan!” teriak seseorang. Suara itu. Rama!
          “Eh, halo, Rama. Kok kamu sampe sini? Ini kan kamar mandi cewek,” Ujar Sela menggoda Rama dan melepaskan cengkeramannya pada kerah seragamku.
          “Aku? Hukuman. As usual. Keluar sana. Dan inget, aku bukan Rama-mu!” usir Rama tajam kepada Sela dkk. Dengan wajah memucat, empat cewek cantik ini segera keluar dari kamar mandi dengan membisu. “Kamu nggak apa-apa, Clar?” Tanya Rama khawatir.
          “Aku nggak apa kok. Kamu kena hukuman apa?” tanyaku penasaran. Biasanya, anak cowok yang kena hukuman pasti disuruh untuk membersihkan kamar mandi cowok, bukannya kamar mandi cewek. Atau jangan-jangan….
          “Haha, hukuman untuk menjagamu seumur hidupku. Ayo kita pulang. Ditunggu di parkiran kok lama banget,” kata Rama sambil melempar pel yang dibawanya dan menyeretku keluar dari kamar mandi. Ah, benar dugaanku, pel itu hanya menjadi alasan saja. Dan lagi-lagi, darahku berdesir.

          Malam itu bertemu dengan Dewi, sahabatku dari Bone. Dia rela jauh-jauh dating ke Semarang untuk menyampaikan salam dari ibuku dan melepas kangen denganku.
          “Kenapa ibu nggak dating sendiri ke sini?” tanyaku.
          “Ibu lagi sibuk. Sekarang usaha jualan ibu makin sukses,” jawab sahabatku dan Sylvi sejak kecil ini.
          Ah, aku rindu ibu. Memang, tiap hari kami menyempatkan diri untuk saling bertelepon dan bertukar kabar, namun tetap saja. Terkadang aku rindu pelukan dan belaian ibu. Di sini memang ada mama, tapi tetap saja, taka da yang bisa menggantikan peran ibu di hidupku.
          Aku bercerita banyak kepada Dewi. Tentang sekolah, teman-teman, Nana, Sela dkk, dan tentu saja, Rama.
          “Clara, peka dong. Rama suka sama kamu,” kata Dewi setelah aku selesai bercerita tentang cowok yang mulai mengisi hari-hariku ini.
          “Aku trauma, Dewi….”
          “Aku tau, Clara. Tapi coba buka hatimu. Siapa tau Rama yang ini berbeda dengan Dio Rama.”
          “Tapi, Dewi. Kami…” kata-kataku menggantung tiap aku mengingat hal ini.
          “Ya?” tanya Dewi penasaran.

          “Kami berbeda,” jawabku lemah.

Selasa, 03 September 2013

04.31 - No comments

Dia (4)

Rama rupanya sama sepertiku, dia memiliki kembaran yang bernama Ruma. Namun sayang, Ruma sangat berbeda dengannya. Jika Rama adalah anak yang gagah, tampan, dan berkharisma, sebaliknya dengan Ruma. Dia memiliki kelainan cacat mental yang membuatnya diasingkan oleh kedua orang tuanya.
     Rama dan Ruma sudah dipisahkan sejak umur mereka 4,5 tahun. Namun Rama tetap menyayangi kakaknya yang lahir 10 menit sebelum dia itu.
     Ceritanya terhenti dengan buliran air mata. Dia segera menyekanya dan segera mengajakku pulang karena waktu yang sudah semakin sore.
     Siang tadi sangat berkesan bagiku. Rama rupanya anak yang baik. Dia mau mengajakku berkeliling kota Semarang dan memperkenalkanku banyak tempat.


     Esoknya saat aku berjalan kaki menuju jalan raya karena mama lagi-lagi ada urusan kantor, Rama menglaksonku dari belakang.
     “Ayo naik, sebelum kamu menendangku lagi,”ujar Rama. Aku hanya tersenyum dan duduk di jok motornya.
     Sepanjang perjalanan kami hanya terdiam. Hatiku berdesir. Duh, apa ini? Jangan bilang rasa yang sama dengan rasa yang dulu kurasakan untuk Dio Rama.
     Tak sampai 15 menit, kami sudah sampai di sekolah. Tatapan menghujami kami namun Rama hanya diam. “Ayo ke kelas, aku mau pinjam PR Fisikamu,” katanya sambil menarik tangaku di parkiran. Bagi orang yang tidak tahu, mungkin mereka mengira aku sedang digandeng oleh Rama.
     Sela dkk yang sedang berada di depan pintu kelas ternganga melihat adegan itu. Namun lagi-lagi Rama hanya diam. Tamatlah riwayatku, mungkin begitu kata Nana jika melihat serentetan adegan epic tadi.
     “Permisi, nona-nona,” kata Rama kepada Sela dkk yang terus berdiri di depan pintu kelas.
     “Kalian pacaran?” Tanya Nisa blak-blakan yang diikuti pelototan dari teman-teman segengnya.
     “Ah, kami cocok ya? Syukurlah,” jawab Rama sambil mengerlingkan matanya kepadaku.
     Dan kali bukan Sela dkk saja yang ternganga. Aku yang jauh lebih ternganga.

     Siangnya sepulang sekolah Rama mengajakku untuk pulang bersamanya. Namun kutolak karena aku ada ekskul jurnalistik.
     “Ya sudah, aku basketan dulu deh. Aku tunggu di lapangan basket ya,” jawabnya setelah mendengar penolakanku lalu pergi. Ah, cowok ini……
     Saat ekskul aku tak bisa berkonsentrasi dan tanpa kusadari, aku sudah membuat sebuah puisi tentangnya.
     “Puisimu keren, Clar!” puji Rima, ketua ekskulku.
     “Ah, makasih. Aku memang suka buat puisi dan cerpen,” jawabku merendah.
     “Aku juga suka. Tapi ini beda. Puisimu sangat berkarakter! Atau jangan-jangan… Kamu lagi jatuh cinta ya.”
     “Ah, enggak kok,” jawabku malu.
     “Kalau enggak, itu siapa dong?” Tanya Rima sambil menunjuk seseorang di lapangan basket. “Dia keren, cakep, pinter lagi. Beruntung banget kamu Clar!”
     “Siapa? Rama? Bukan. Dia hanya tetanggaku kok.”
     “Pacar 5 langkah dong. Duh, envy nih sama kamu. Haha,” Rima ngeloyor pergi. Aku hanya terdiam. Apa iya Rama sekeren itu? Tampaknya orang-orang hanya membesar-besarkannya saja.

     “Tunggu Clar! 10 menit lagi! Duduk aja di situ,” teriak Rama dari tengah lapangan basket sambil menunjuk bangku penonton saat melihat aku berjalan menuju lapangan basket. Aku hanya mengangguk.
     Aku berjalan menuju bangku penonton dengan diikuti belasan pasang mata. Oh, Tuhan, kurasa semua orang sudah mengira kami pacaran. Sudahlah.
     “Ambilin itu dong,” kata Rama setelah selesai bermain basket. Aku memberikan sebotol air mineral yang ditunjuk Rama. Mataku terus menatapnya. Dia sungguh mirip Dio Rama. Matanya, hidungnya, rambutnya, cara berbicaranya….

     “Hei! Ayo pulang. Besok banyak PR,” Rama membuyarkan lamunanku sambil berjalan menuju parkiran. Aku segera menyusulnya dengan langkah tergesa-gesa. Ah, satu lagi kesamaan antara Rama dan Dio Rama. Mereka berdua berjalan sangat cepat. 

Senin, 02 September 2013

04.52 - No comments

Tendangan Maut (3)

Lelaki tampan itu mendekatiku. “Clar, dia ke sini!” teriak Sylvi yang ada di sampingku.
     Aku tersenyum malu-malu. Tapi pria itu bukan melihatku. Dia semakin dekat, semakin dekat, dan…. Dia memegang tangan Sylvi, berlutut di depannya dan mengungkapkan cinta padanya.
     Sylvi menerimanya dan mereka berjalan, bergandengan bersama. Meninggalkanku sendirian. Adik kembarku dan lelaki idamanku.

     Aku terbangun. Ah mimpi. Entah sudah mimpi ke berapa ini tentangnya. Lelaki itu cinta pertamaku. Memang sih cinta monyet. Tapi kisah kami terlalu klise.
     Aku naksir dengannya dan dia merespon perasaanku. Kami ngobrol bersama, pergi bersama, dan kami saling bertukar cerita. Namun ternyata dia mendekatiku karena dia naksir Sylvi, adik kembarku yang kini sudah tiada. Dan suatu saat, lelaki itu menyatakan perasaannya kepada Sylvi di depanku. Sylvi yang tahu bahwa lelaki tampan itu adalah cinta pertamaku, menolaknya mentah-mentah dan mengatainya lelaki bajingan. Sylvi mengatakan itu tentu punya alasan. Dan alasan terbesarnya adalah karena lelaki itu, hatiku hancur berkeping-keping. Nama lelaki itu Dio Rama. Wajahnya, garis mukanya, badannya, sangat mirip dengan Rama, teman sekelasku di SMAku yang baru di Semarang. Dan itu hanya membuat luka lamaku kembali. Rindu akan Dio Rama, dan tentu saja rindu akan Sylvi. Ah…….

     Pagi itu seperti biasa aku siap-siap untuk berangkat sekolah bersama mama. Dia sungguh ibu tiri yang baik. Dia tidak membedakan antara aku dengan kedua anak kandungnya. Sungguh aku mencintainya seperti aku mencintai ibu. Ya, meskipun ibu selalu nomer satu di hatiku.
     “Clara, maaf ya, mama nggak bisa nganter kamu hari ini. Mama harus ke kantor pagi-pagi. Kamu nanti berangkat dulu ya naik angkot. Ini uangnya,” ujar mama yang sudah rapi saat aku bangun tidur.
     “ Iya, ma, nggak apa kok. Hati-hati di jalan ya,” ujarku dengan tersenyum. Mama pun berangkat.
     Karena rumah papa berada di kawasan perumahan elit, jika tidak ada kendaraan, aku harus berjalan kaki dari rumah sampai ke jalan raya dengan jarak yang lumayan jauh.
     “Hei,” panggil seseorang ketika aku sedang berjalan sendirian. Mama bilang di daerah sini terkadang banyak anak cowok yang menggoda. Aku langsung mengingat jurus taekwondo yang pernah kupelajari di Biak. Dan tanpa babibu, langsung kutendang cowok naas itu.
     “Aduuuuuuuh,” teriaknya sambil diikuti suara gedebug motor yang jatuh. Aku melongo. Oh, Tuhan, dia bukan cowok yang berniat menggangguku. Dia Rama, teman sekelasku!
     Melihat Rama yang kesakitan, segera kubantu dia berdiri dan memapahnya ke pinggir jalan.
     “Maaf, Rama, aku kira kamu cowok yang mau gangguin aku. Mama bilang di daerah sini terkadang banyak cowok yang gangguin cewek,” ujarku menyesal.
     “Aww, kalo pun iya aku mau godain cewek, cewek itu bukan kamu,” balasnya sengit.
     “Aduh, maaf. Refleks, Ram. Dahi kamu berdarah, ayo aku obati di rumahku.”
     Aku pun memapah cowok ini ke rumahku yang untungnya belum terlalu jauh.
     “Kamu ikut taekwondo?” Tanya Rama sambil meringis saat kutempelkan kapas ke dahinya yang terluka.
     “Iya. Aku belajar taekwondo sewaktu di Biak.”
     “Ah, kamu pasti sudah hebat. Tendanganmu sangat sakit.”
     “Maaf, aku kan tidak sengaja. Tapi lebih sakit tendangan si….” Kata-kataku yang selesai dan ekspresiku yang berubah sedih membuat Rama penasaran. “Ah, tidak. Mengapa kamu bias ada di sini?” tanyaku mengubah topic.
     “Rumahku beberapa blok dari sini. Kemudian aku melihatmu jalan sendiri, dan aku berniat untuk mengajakmu berangkat sekolah bersama. Tapi akhirnya, di sinilah kita, di rumahmu yang mewah dengan luka lebam di sekujur tubuhku.”
     “Maafkan aku.”
     “Sudahlah, aku malah harus berterima kasih padamu karena kamu sudah menyelamatkan aku dari ulangan matematika hari ini,” jawab Rama santai.
     “Ah iya! Hari ini ada ulangan!” ujarku panic. Rama menarik tanganku untuk duduk kembali dan mengobati lukanya lagi. Dia hanya tersenyum.
     “Dasar anak baru. Belum pernah bolos ya di Biak? Santai sajalah. Setelah ini aku akan mengajakmu ke suatu tempat agar orang tuamu tidak curiga jika kamu pulang cepat.” Aku mengangguk.