Rama
rupanya sama sepertiku, dia memiliki kembaran yang bernama Ruma. Namun sayang,
Ruma sangat berbeda dengannya. Jika Rama adalah anak yang gagah, tampan, dan
berkharisma, sebaliknya dengan Ruma. Dia memiliki kelainan cacat mental yang
membuatnya diasingkan oleh kedua orang tuanya.
Rama dan Ruma sudah dipisahkan sejak umur
mereka 4,5 tahun. Namun Rama tetap menyayangi kakaknya yang lahir 10 menit
sebelum dia itu.
Ceritanya terhenti dengan buliran air mata.
Dia segera menyekanya dan segera mengajakku pulang karena waktu yang sudah
semakin sore.
Siang tadi sangat berkesan bagiku. Rama
rupanya anak yang baik. Dia mau mengajakku berkeliling kota Semarang dan
memperkenalkanku banyak tempat.
Esoknya saat aku berjalan kaki menuju jalan
raya karena mama lagi-lagi ada urusan kantor, Rama menglaksonku dari belakang.
“Ayo naik, sebelum kamu menendangku
lagi,”ujar Rama. Aku hanya tersenyum dan duduk di jok motornya.
Sepanjang perjalanan kami hanya terdiam.
Hatiku berdesir. Duh, apa ini? Jangan bilang rasa yang sama dengan rasa yang
dulu kurasakan untuk Dio Rama.
Tak sampai 15 menit, kami sudah sampai di
sekolah. Tatapan menghujami kami namun Rama hanya diam. “Ayo ke kelas, aku mau
pinjam PR Fisikamu,” katanya sambil menarik tangaku di parkiran. Bagi orang
yang tidak tahu, mungkin mereka mengira aku sedang digandeng oleh Rama.
Sela dkk yang sedang berada di depan pintu
kelas ternganga melihat adegan itu. Namun lagi-lagi Rama hanya diam. Tamatlah
riwayatku, mungkin begitu kata Nana jika melihat serentetan adegan epic tadi.
“Permisi, nona-nona,” kata Rama kepada Sela
dkk yang terus berdiri di depan pintu kelas.
“Kalian pacaran?” Tanya Nisa blak-blakan
yang diikuti pelototan dari teman-teman segengnya.
“Ah, kami cocok ya? Syukurlah,” jawab Rama
sambil mengerlingkan matanya kepadaku.
Dan kali bukan Sela dkk saja yang
ternganga. Aku yang jauh lebih ternganga.
Siangnya sepulang sekolah Rama mengajakku
untuk pulang bersamanya. Namun kutolak karena aku ada ekskul jurnalistik.
“Ya sudah, aku basketan dulu deh. Aku
tunggu di lapangan basket ya,” jawabnya setelah mendengar penolakanku lalu
pergi. Ah, cowok ini……
Saat ekskul aku tak bisa berkonsentrasi dan
tanpa kusadari, aku sudah membuat sebuah puisi tentangnya.
“Puisimu keren, Clar!” puji Rima, ketua
ekskulku.
“Ah, makasih. Aku memang suka buat puisi
dan cerpen,” jawabku merendah.
“Aku juga suka. Tapi ini beda. Puisimu
sangat berkarakter! Atau jangan-jangan… Kamu lagi jatuh cinta ya.”
“Ah, enggak kok,” jawabku malu.
“Kalau enggak, itu siapa dong?” Tanya Rima
sambil menunjuk seseorang di lapangan basket. “Dia keren, cakep, pinter lagi.
Beruntung banget kamu Clar!”
“Siapa? Rama? Bukan. Dia hanya tetanggaku
kok.”
“Pacar 5 langkah dong. Duh, envy nih sama
kamu. Haha,” Rima ngeloyor pergi. Aku hanya terdiam. Apa iya Rama sekeren itu?
Tampaknya orang-orang hanya membesar-besarkannya saja.
“Tunggu Clar! 10 menit lagi! Duduk aja di
situ,” teriak Rama dari tengah lapangan basket sambil menunjuk bangku penonton
saat melihat aku berjalan menuju lapangan basket. Aku hanya mengangguk.
Aku berjalan menuju bangku penonton dengan
diikuti belasan pasang mata. Oh, Tuhan, kurasa semua orang sudah mengira kami
pacaran. Sudahlah.
“Ambilin itu dong,” kata Rama setelah
selesai bermain basket. Aku memberikan sebotol air mineral yang ditunjuk Rama.
Mataku terus menatapnya. Dia sungguh mirip Dio Rama. Matanya, hidungnya,
rambutnya, cara berbicaranya….
“Hei! Ayo pulang. Besok banyak PR,” Rama
membuyarkan lamunanku sambil berjalan menuju parkiran. Aku segera menyusulnya
dengan langkah tergesa-gesa. Ah, satu lagi kesamaan antara Rama dan Dio Rama.
Mereka berdua berjalan sangat cepat.