Senin, 02 September 2013

04.52 - No comments

Tendangan Maut (3)

Lelaki tampan itu mendekatiku. “Clar, dia ke sini!” teriak Sylvi yang ada di sampingku.
     Aku tersenyum malu-malu. Tapi pria itu bukan melihatku. Dia semakin dekat, semakin dekat, dan…. Dia memegang tangan Sylvi, berlutut di depannya dan mengungkapkan cinta padanya.
     Sylvi menerimanya dan mereka berjalan, bergandengan bersama. Meninggalkanku sendirian. Adik kembarku dan lelaki idamanku.

     Aku terbangun. Ah mimpi. Entah sudah mimpi ke berapa ini tentangnya. Lelaki itu cinta pertamaku. Memang sih cinta monyet. Tapi kisah kami terlalu klise.
     Aku naksir dengannya dan dia merespon perasaanku. Kami ngobrol bersama, pergi bersama, dan kami saling bertukar cerita. Namun ternyata dia mendekatiku karena dia naksir Sylvi, adik kembarku yang kini sudah tiada. Dan suatu saat, lelaki itu menyatakan perasaannya kepada Sylvi di depanku. Sylvi yang tahu bahwa lelaki tampan itu adalah cinta pertamaku, menolaknya mentah-mentah dan mengatainya lelaki bajingan. Sylvi mengatakan itu tentu punya alasan. Dan alasan terbesarnya adalah karena lelaki itu, hatiku hancur berkeping-keping. Nama lelaki itu Dio Rama. Wajahnya, garis mukanya, badannya, sangat mirip dengan Rama, teman sekelasku di SMAku yang baru di Semarang. Dan itu hanya membuat luka lamaku kembali. Rindu akan Dio Rama, dan tentu saja rindu akan Sylvi. Ah…….

     Pagi itu seperti biasa aku siap-siap untuk berangkat sekolah bersama mama. Dia sungguh ibu tiri yang baik. Dia tidak membedakan antara aku dengan kedua anak kandungnya. Sungguh aku mencintainya seperti aku mencintai ibu. Ya, meskipun ibu selalu nomer satu di hatiku.
     “Clara, maaf ya, mama nggak bisa nganter kamu hari ini. Mama harus ke kantor pagi-pagi. Kamu nanti berangkat dulu ya naik angkot. Ini uangnya,” ujar mama yang sudah rapi saat aku bangun tidur.
     “ Iya, ma, nggak apa kok. Hati-hati di jalan ya,” ujarku dengan tersenyum. Mama pun berangkat.
     Karena rumah papa berada di kawasan perumahan elit, jika tidak ada kendaraan, aku harus berjalan kaki dari rumah sampai ke jalan raya dengan jarak yang lumayan jauh.
     “Hei,” panggil seseorang ketika aku sedang berjalan sendirian. Mama bilang di daerah sini terkadang banyak anak cowok yang menggoda. Aku langsung mengingat jurus taekwondo yang pernah kupelajari di Biak. Dan tanpa babibu, langsung kutendang cowok naas itu.
     “Aduuuuuuuh,” teriaknya sambil diikuti suara gedebug motor yang jatuh. Aku melongo. Oh, Tuhan, dia bukan cowok yang berniat menggangguku. Dia Rama, teman sekelasku!
     Melihat Rama yang kesakitan, segera kubantu dia berdiri dan memapahnya ke pinggir jalan.
     “Maaf, Rama, aku kira kamu cowok yang mau gangguin aku. Mama bilang di daerah sini terkadang banyak cowok yang gangguin cewek,” ujarku menyesal.
     “Aww, kalo pun iya aku mau godain cewek, cewek itu bukan kamu,” balasnya sengit.
     “Aduh, maaf. Refleks, Ram. Dahi kamu berdarah, ayo aku obati di rumahku.”
     Aku pun memapah cowok ini ke rumahku yang untungnya belum terlalu jauh.
     “Kamu ikut taekwondo?” Tanya Rama sambil meringis saat kutempelkan kapas ke dahinya yang terluka.
     “Iya. Aku belajar taekwondo sewaktu di Biak.”
     “Ah, kamu pasti sudah hebat. Tendanganmu sangat sakit.”
     “Maaf, aku kan tidak sengaja. Tapi lebih sakit tendangan si….” Kata-kataku yang selesai dan ekspresiku yang berubah sedih membuat Rama penasaran. “Ah, tidak. Mengapa kamu bias ada di sini?” tanyaku mengubah topic.
     “Rumahku beberapa blok dari sini. Kemudian aku melihatmu jalan sendiri, dan aku berniat untuk mengajakmu berangkat sekolah bersama. Tapi akhirnya, di sinilah kita, di rumahmu yang mewah dengan luka lebam di sekujur tubuhku.”
     “Maafkan aku.”
     “Sudahlah, aku malah harus berterima kasih padamu karena kamu sudah menyelamatkan aku dari ulangan matematika hari ini,” jawab Rama santai.
     “Ah iya! Hari ini ada ulangan!” ujarku panic. Rama menarik tanganku untuk duduk kembali dan mengobati lukanya lagi. Dia hanya tersenyum.
     “Dasar anak baru. Belum pernah bolos ya di Biak? Santai sajalah. Setelah ini aku akan mengajakmu ke suatu tempat agar orang tuamu tidak curiga jika kamu pulang cepat.” Aku mengangguk.
    

     

0 komentar:

Posting Komentar