15.21 -
No comments


Kami Berbeda (5)
Gara-gara tragedi ‘tendangan maut’, sekarang aku dan
Rama selalu berangkat dan pulang sekolah bersama. Dan tentu saja itu tak pelak
membuat gossip yang segera berhembus dengan kuat.
Tiap ku berjalan dengan atau tanpa
Rama, semua orang pasti melihat ke arahku dan berbisik-bisik.
Dan ketakutanku yang terbesar akhirnya
menjadi kenyataan pada suatu pagi. “Heh, lo pacaran sama Rama?” Sela mendorong
tubuhku kasar ke tembok saat aku baru saja keluar dari kamar mandi,
satu-satunya tempat di mana Rama tak bisa mengikutiku.
“Aku? Enggak kok,” jawabku agak
gemetar. Ternyata benar kata Nana, Sela dkk sangat menakutkan dari jarak dekat.
Emm, kau tahu singa baru beranak? Ini lebih mengerikam dari itu.
“Bohong! Kalo kamu nggak pacaran sama
dia, kenapa tiap hari kalian lengket banget kayak perangko gitu? Pasti kamu
godain Rama-ku ya!” desak Sela sambil diikuti ‘anak buahnya’ yang melihatku dan
menatapku melecehkan.
“Enggak. Aku enggak pacaran sama Rama.
Dan aku enggak godain dia! Rama-mu? Oh,” jawabku ketus. Ah, sebal! Rama-ku,
Rama-mu. Bah, kayak cowok itu beken saja!
“Hei, apa-apaan kalian? Kamar mandi
bukan untuk main keroyokan!” teriak seseorang. Suara itu. Rama!
“Eh, halo, Rama. Kok kamu sampe sini?
Ini kan kamar mandi cewek,” Ujar Sela menggoda Rama dan melepaskan
cengkeramannya pada kerah seragamku.
“Aku? Hukuman. As usual. Keluar sana. Dan inget, aku bukan Rama-mu!” usir Rama
tajam kepada Sela dkk. Dengan wajah memucat, empat cewek cantik ini segera
keluar dari kamar mandi dengan membisu. “Kamu nggak apa-apa, Clar?” Tanya Rama
khawatir.
“Aku nggak apa kok. Kamu kena hukuman
apa?” tanyaku penasaran. Biasanya, anak cowok yang kena hukuman pasti disuruh
untuk membersihkan kamar mandi cowok, bukannya kamar mandi cewek. Atau
jangan-jangan….
“Haha, hukuman untuk menjagamu seumur
hidupku. Ayo kita pulang. Ditunggu di parkiran kok lama banget,” kata Rama
sambil melempar pel yang dibawanya dan menyeretku keluar dari kamar mandi. Ah,
benar dugaanku, pel itu hanya menjadi alasan saja. Dan lagi-lagi, darahku
berdesir.
Malam itu bertemu dengan Dewi,
sahabatku dari Bone. Dia rela jauh-jauh dating ke Semarang untuk menyampaikan
salam dari ibuku dan melepas kangen denganku.
“Kenapa ibu nggak dating sendiri ke
sini?” tanyaku.
“Ibu lagi sibuk. Sekarang usaha jualan
ibu makin sukses,” jawab sahabatku dan Sylvi sejak kecil ini.
Ah, aku rindu ibu. Memang, tiap hari
kami menyempatkan diri untuk saling bertelepon dan bertukar kabar, namun tetap
saja. Terkadang aku rindu pelukan dan belaian ibu. Di sini memang ada mama,
tapi tetap saja, taka da yang bisa menggantikan peran ibu di hidupku.
Aku bercerita banyak kepada Dewi.
Tentang sekolah, teman-teman, Nana, Sela dkk, dan tentu saja, Rama.
“Clara, peka dong. Rama suka sama
kamu,” kata Dewi setelah aku selesai bercerita tentang cowok yang mulai mengisi
hari-hariku ini.
“Aku trauma, Dewi….”
“Aku tau, Clara. Tapi coba buka
hatimu. Siapa tau Rama yang ini berbeda dengan Dio Rama.”
“Tapi, Dewi. Kami…” kata-kataku
menggantung tiap aku mengingat hal ini.
“Ya?” tanya Dewi penasaran.
“Kami berbeda,” jawabku lemah.
0 komentar:
Posting Komentar