Kamis, 05 September 2013

15.21 - No comments

Kami Berbeda (5)

Gara-gara tragedi ‘tendangan maut’, sekarang aku dan Rama selalu berangkat dan pulang sekolah bersama. Dan tentu saja itu tak pelak membuat gossip yang segera berhembus dengan kuat.
          Tiap ku berjalan dengan atau tanpa Rama, semua orang pasti melihat ke arahku dan berbisik-bisik.
          Dan ketakutanku yang terbesar akhirnya menjadi kenyataan pada suatu pagi. “Heh, lo pacaran sama Rama?” Sela mendorong tubuhku kasar ke tembok saat aku baru saja keluar dari kamar mandi, satu-satunya tempat di mana Rama tak bisa mengikutiku.
          “Aku? Enggak kok,” jawabku agak gemetar. Ternyata benar kata Nana, Sela dkk sangat menakutkan dari jarak dekat. Emm, kau tahu singa baru beranak? Ini lebih mengerikam dari itu.
          “Bohong! Kalo kamu nggak pacaran sama dia, kenapa tiap hari kalian lengket banget kayak perangko gitu? Pasti kamu godain Rama-ku ya!” desak Sela sambil diikuti ‘anak buahnya’ yang melihatku dan menatapku melecehkan.
          “Enggak. Aku enggak pacaran sama Rama. Dan aku enggak godain dia! Rama-mu? Oh,” jawabku ketus. Ah, sebal! Rama-ku, Rama-mu. Bah, kayak cowok itu beken saja!
          “Hei, apa-apaan kalian? Kamar mandi bukan untuk main keroyokan!” teriak seseorang. Suara itu. Rama!
          “Eh, halo, Rama. Kok kamu sampe sini? Ini kan kamar mandi cewek,” Ujar Sela menggoda Rama dan melepaskan cengkeramannya pada kerah seragamku.
          “Aku? Hukuman. As usual. Keluar sana. Dan inget, aku bukan Rama-mu!” usir Rama tajam kepada Sela dkk. Dengan wajah memucat, empat cewek cantik ini segera keluar dari kamar mandi dengan membisu. “Kamu nggak apa-apa, Clar?” Tanya Rama khawatir.
          “Aku nggak apa kok. Kamu kena hukuman apa?” tanyaku penasaran. Biasanya, anak cowok yang kena hukuman pasti disuruh untuk membersihkan kamar mandi cowok, bukannya kamar mandi cewek. Atau jangan-jangan….
          “Haha, hukuman untuk menjagamu seumur hidupku. Ayo kita pulang. Ditunggu di parkiran kok lama banget,” kata Rama sambil melempar pel yang dibawanya dan menyeretku keluar dari kamar mandi. Ah, benar dugaanku, pel itu hanya menjadi alasan saja. Dan lagi-lagi, darahku berdesir.

          Malam itu bertemu dengan Dewi, sahabatku dari Bone. Dia rela jauh-jauh dating ke Semarang untuk menyampaikan salam dari ibuku dan melepas kangen denganku.
          “Kenapa ibu nggak dating sendiri ke sini?” tanyaku.
          “Ibu lagi sibuk. Sekarang usaha jualan ibu makin sukses,” jawab sahabatku dan Sylvi sejak kecil ini.
          Ah, aku rindu ibu. Memang, tiap hari kami menyempatkan diri untuk saling bertelepon dan bertukar kabar, namun tetap saja. Terkadang aku rindu pelukan dan belaian ibu. Di sini memang ada mama, tapi tetap saja, taka da yang bisa menggantikan peran ibu di hidupku.
          Aku bercerita banyak kepada Dewi. Tentang sekolah, teman-teman, Nana, Sela dkk, dan tentu saja, Rama.
          “Clara, peka dong. Rama suka sama kamu,” kata Dewi setelah aku selesai bercerita tentang cowok yang mulai mengisi hari-hariku ini.
          “Aku trauma, Dewi….”
          “Aku tau, Clara. Tapi coba buka hatimu. Siapa tau Rama yang ini berbeda dengan Dio Rama.”
          “Tapi, Dewi. Kami…” kata-kataku menggantung tiap aku mengingat hal ini.
          “Ya?” tanya Dewi penasaran.

          “Kami berbeda,” jawabku lemah.

0 komentar:

Posting Komentar