13.54 -
No comments


Kiss Me? (6)
“Clara,
kamu nggak sholat?” Tanya Rama saat istirahat sekolah. Aku tersenyum, “Aku
enggak sholat, Rama.” Rama mengerutkan keningnya.
“Lagi halangan?” tanyanya sambil
menunggu teman-teman lainnya yang bersiap untuk sholat bersama.
“Aku non, kok,” jawabku singkat. Bibir
Rama membentuk huruf ‘o’ lalu meninggalkanku sendirian.
Tiap kuingat saat itu, agak miris.
Saat Rama menawarkanku untuk beribadah bersamanya dan kutolak karena kami tidak
meyakini hal yang sama dan sejak itu Rama agak menjauh dariku. Awalnya aku
berusaha untuk berpikir positif bahwa Rama memang sedang sibuk karena memang,
saat itu Rama akan mengikuti Walikota Cup.
Tapi aku tetap menungguinya latihan
basket. Tapi tak jarang dia memintaku untuk pulang duluan. Padahal dengan senang
hati aku akan menungguinya. Atau dia minta salah satu teman tim basketnya untuk
mengantarku pulang sedangkan dia tak tahu pergi kemana.
Kata-kata Dewi, sahabatku, saat dia
datang ke Semarang, kembali mengiang di telingaku.
“Kalian beda agama?” tanyanya.
Aku mengangguk lesu. “Dia tahu?”
tanyanya lagi. Kudelengkan kepalaku lunglai. Dewi menarik nafas panjang.
“Beri tahu dia. Sebelum hubungan
kalian menginjak ke tahap serius,” nasehatinya.
“Tapi buat apa? Iya kalau dia suka
sama aku. Kalau enggak? Nggonduk.”
“Clara, kamu mau kayak ayah ibu kamu?”
Tanya Dewi lagi.
Aku terdiam. “Jangan bahas itu, Dewi.”
Jawabku dingin. Dewi menghempaskan tubuh tambunnya di kursi café.
Ayah dan ibu menikah beda agama dan
kehidupan pernikahan mereka tidak selamanya mulus. Setelah bertahun-tahun
bertengkar, pisah ranjang, rujuk, pisah ranjang, akhirnya mereka berdua
memutuskan untuk berpisah. Setidaknya itulah cerita yang kutahu dari Nenekku,
ibu dari ibuku.
Aku galau. Sepertinya rasaku untuk
Rama sudah makin memuncak dan kurasa rasa ini sudah berubah menjadi rasa cinta.
Di kelas, aku sering memergoki Rama
sedang memandangiku. Bukannya GR, tapi Nana pun juga mengatakan kalau aku
sedang “dimata-matai” oleh Rama. Ah, Rama. Dia benar-benar mogok berbicara
denganku sekarang. Tepatnya semenjak dia tahu bahwa kami berbeda keyakinan.
Suatu pagi, Rama mencegatku di depan
gerbang perumahan.
“Stop. Kita selesaikan sekarang,”
ujarnya garang.
“Selesaikan apa?” jawabku tak
mengerti. Rama mencengkeram kedua bahuku dan mendorongku ke tembok. “Rama!
Lepas! Atau kupanggilkan…”
Dengan cepat Rama mengecup bibirku.
Aku terdiam. Kami terdiam.
Rama tersenyum nakal, “Maaf, tuan
putri hamba lancang.”
Ahh, Rama.. Tadi… Aku kehabisan
kata-kata. “Kamu… Aku…” kataku lirih.
“Ah, iya, iya. Aku sayang kamu,
Clara.” Rama memelukku. Erat. Kami berpelukan. Tubuhku lemas.
0 komentar:
Posting Komentar