Jumat, 06 September 2013

13.54 - No comments

Kiss Me? (6)

“Clara, kamu nggak sholat?” Tanya Rama saat istirahat sekolah. Aku tersenyum, “Aku enggak sholat, Rama.” Rama mengerutkan keningnya.
          “Lagi halangan?” tanyanya sambil menunggu teman-teman lainnya yang bersiap untuk sholat bersama.
          “Aku non, kok,” jawabku singkat. Bibir Rama membentuk huruf ‘o’ lalu meninggalkanku sendirian.
                         
          Tiap kuingat saat itu, agak miris. Saat Rama menawarkanku untuk beribadah bersamanya dan kutolak karena kami tidak meyakini hal yang sama dan sejak itu Rama agak menjauh dariku. Awalnya aku berusaha untuk berpikir positif bahwa Rama memang sedang sibuk karena memang, saat itu Rama akan mengikuti Walikota Cup.
          Tapi aku tetap menungguinya latihan basket. Tapi tak jarang dia memintaku untuk pulang duluan. Padahal dengan senang hati aku akan menungguinya. Atau dia minta salah satu teman tim basketnya untuk mengantarku pulang sedangkan dia tak tahu pergi kemana.

          Kata-kata Dewi, sahabatku, saat dia datang ke Semarang, kembali mengiang di telingaku.
          “Kalian beda agama?” tanyanya.
          Aku mengangguk lesu. “Dia tahu?” tanyanya lagi. Kudelengkan kepalaku lunglai. Dewi menarik nafas panjang.
          “Beri tahu dia. Sebelum hubungan kalian menginjak ke tahap serius,” nasehatinya.
          “Tapi buat apa? Iya kalau dia suka sama aku. Kalau enggak? Nggonduk.
          “Clara, kamu mau kayak ayah ibu kamu?” Tanya Dewi lagi.
          Aku terdiam. “Jangan bahas itu, Dewi.” Jawabku dingin. Dewi menghempaskan tubuh tambunnya di kursi café.
          Ayah dan ibu menikah beda agama dan kehidupan pernikahan mereka tidak selamanya mulus. Setelah bertahun-tahun bertengkar, pisah ranjang, rujuk, pisah ranjang, akhirnya mereka berdua memutuskan untuk berpisah. Setidaknya itulah cerita yang kutahu dari Nenekku, ibu dari ibuku.

          Aku galau. Sepertinya rasaku untuk Rama sudah makin memuncak dan kurasa rasa ini sudah berubah menjadi rasa cinta.
          Di kelas, aku sering memergoki Rama sedang memandangiku. Bukannya GR, tapi Nana pun juga mengatakan kalau aku sedang “dimata-matai” oleh Rama. Ah, Rama. Dia benar-benar mogok berbicara denganku sekarang. Tepatnya semenjak dia tahu bahwa kami berbeda keyakinan.
         
          Suatu pagi, Rama mencegatku di depan gerbang perumahan.
          “Stop. Kita selesaikan sekarang,” ujarnya garang.
          “Selesaikan apa?” jawabku tak mengerti. Rama mencengkeram kedua bahuku dan mendorongku ke tembok. “Rama! Lepas! Atau kupanggilkan…”
          Dengan cepat Rama mengecup bibirku. Aku terdiam. Kami terdiam.
          Rama tersenyum nakal, “Maaf, tuan putri hamba lancang.”
          Ahh, Rama.. Tadi… Aku kehabisan kata-kata. “Kamu… Aku…” kataku lirih.

          “Ah, iya, iya. Aku sayang kamu, Clara.” Rama memelukku. Erat. Kami berpelukan. Tubuhku lemas.

0 komentar:

Posting Komentar