Selasa, 03 September 2013

04.31 - No comments

Dia (4)

Rama rupanya sama sepertiku, dia memiliki kembaran yang bernama Ruma. Namun sayang, Ruma sangat berbeda dengannya. Jika Rama adalah anak yang gagah, tampan, dan berkharisma, sebaliknya dengan Ruma. Dia memiliki kelainan cacat mental yang membuatnya diasingkan oleh kedua orang tuanya.
     Rama dan Ruma sudah dipisahkan sejak umur mereka 4,5 tahun. Namun Rama tetap menyayangi kakaknya yang lahir 10 menit sebelum dia itu.
     Ceritanya terhenti dengan buliran air mata. Dia segera menyekanya dan segera mengajakku pulang karena waktu yang sudah semakin sore.
     Siang tadi sangat berkesan bagiku. Rama rupanya anak yang baik. Dia mau mengajakku berkeliling kota Semarang dan memperkenalkanku banyak tempat.


     Esoknya saat aku berjalan kaki menuju jalan raya karena mama lagi-lagi ada urusan kantor, Rama menglaksonku dari belakang.
     “Ayo naik, sebelum kamu menendangku lagi,”ujar Rama. Aku hanya tersenyum dan duduk di jok motornya.
     Sepanjang perjalanan kami hanya terdiam. Hatiku berdesir. Duh, apa ini? Jangan bilang rasa yang sama dengan rasa yang dulu kurasakan untuk Dio Rama.
     Tak sampai 15 menit, kami sudah sampai di sekolah. Tatapan menghujami kami namun Rama hanya diam. “Ayo ke kelas, aku mau pinjam PR Fisikamu,” katanya sambil menarik tangaku di parkiran. Bagi orang yang tidak tahu, mungkin mereka mengira aku sedang digandeng oleh Rama.
     Sela dkk yang sedang berada di depan pintu kelas ternganga melihat adegan itu. Namun lagi-lagi Rama hanya diam. Tamatlah riwayatku, mungkin begitu kata Nana jika melihat serentetan adegan epic tadi.
     “Permisi, nona-nona,” kata Rama kepada Sela dkk yang terus berdiri di depan pintu kelas.
     “Kalian pacaran?” Tanya Nisa blak-blakan yang diikuti pelototan dari teman-teman segengnya.
     “Ah, kami cocok ya? Syukurlah,” jawab Rama sambil mengerlingkan matanya kepadaku.
     Dan kali bukan Sela dkk saja yang ternganga. Aku yang jauh lebih ternganga.

     Siangnya sepulang sekolah Rama mengajakku untuk pulang bersamanya. Namun kutolak karena aku ada ekskul jurnalistik.
     “Ya sudah, aku basketan dulu deh. Aku tunggu di lapangan basket ya,” jawabnya setelah mendengar penolakanku lalu pergi. Ah, cowok ini……
     Saat ekskul aku tak bisa berkonsentrasi dan tanpa kusadari, aku sudah membuat sebuah puisi tentangnya.
     “Puisimu keren, Clar!” puji Rima, ketua ekskulku.
     “Ah, makasih. Aku memang suka buat puisi dan cerpen,” jawabku merendah.
     “Aku juga suka. Tapi ini beda. Puisimu sangat berkarakter! Atau jangan-jangan… Kamu lagi jatuh cinta ya.”
     “Ah, enggak kok,” jawabku malu.
     “Kalau enggak, itu siapa dong?” Tanya Rima sambil menunjuk seseorang di lapangan basket. “Dia keren, cakep, pinter lagi. Beruntung banget kamu Clar!”
     “Siapa? Rama? Bukan. Dia hanya tetanggaku kok.”
     “Pacar 5 langkah dong. Duh, envy nih sama kamu. Haha,” Rima ngeloyor pergi. Aku hanya terdiam. Apa iya Rama sekeren itu? Tampaknya orang-orang hanya membesar-besarkannya saja.

     “Tunggu Clar! 10 menit lagi! Duduk aja di situ,” teriak Rama dari tengah lapangan basket sambil menunjuk bangku penonton saat melihat aku berjalan menuju lapangan basket. Aku hanya mengangguk.
     Aku berjalan menuju bangku penonton dengan diikuti belasan pasang mata. Oh, Tuhan, kurasa semua orang sudah mengira kami pacaran. Sudahlah.
     “Ambilin itu dong,” kata Rama setelah selesai bermain basket. Aku memberikan sebotol air mineral yang ditunjuk Rama. Mataku terus menatapnya. Dia sungguh mirip Dio Rama. Matanya, hidungnya, rambutnya, cara berbicaranya….

     “Hei! Ayo pulang. Besok banyak PR,” Rama membuyarkan lamunanku sambil berjalan menuju parkiran. Aku segera menyusulnya dengan langkah tergesa-gesa. Ah, satu lagi kesamaan antara Rama dan Dio Rama. Mereka berdua berjalan sangat cepat. 

0 komentar:

Posting Komentar