Namaku Clara Silvana. Aku pindahan
dari Bone, Sulawesi Selatan dan sekarang aku “terdampar” di negeri orang.
Sebenarnya bukan terdampar, lebih
tepatnya, merantau. Ya, aku merantau ke kota tanah kelahiran ayahku, Semarang.
Sudah lebih dari 10 tahun aku tak pernah bertemu dengan ayahku. Ayah dan ibu
sudah bercerai sejak umurku dan Silvy 3 tahun. Mungkin kalian bertanya-tanya,
siapakh Silvy? Dia adalah alasan utamaku meninggalkan kampong halaman dan ibuku
kemudian merantau ke tanah yang tak pernah kuinjakkan sebelumnya.
Clara Silvyana adalah saudara
kembarku. Lebih tepatnya adik kembarku. Dia lahir 5 menit setelah aku lebih
dahulu menghirup udara dunia. Namun sayang, dia meninggalkanku lebih cepat
daripada umur jagung. Dia meninggal di ulang tahun kami yang ke-16 tahun,
tepatnya 3 bulan yang lalu. Dia meninggal karena gagal ginjal. Sebenarnya aku
sudah memberikan ginjalku yang satu untuknya. Sayangnya tubuhnya menolaknya,
dan Tuhan memanggil adik kesayanganku ini lebih cepat daripada dugaanku.
Aku sangat menyayangi adikku. Dan aku
yakin dia juga menyayangiku. Aku selalu menemani dia selama detik-detik
terakhirnya di dunia. Tidak seperti ayahku, Bagaskoro. Namun Sylvi sama sekali
tidak pernah membenci laki-laki yang bahkan tidak pernah ia ingat seperti apa
rupanya. Dia selalu mengatakan pada ibu bahwa ia ingin sekali bertemu dengan
ayah. Dan ibu hanya menjawab ‘iya sayang’ dengan senyum terpaksa. Aku tahu. Ibu
sudah sangat sakit hati dengan ayah karena ayah menduakan ibu dengan wanita
lain kemudian meninggalkan kami di saat kami masih kecil. Karena itu, ibu harus
banting tulang demi membesarkan dua anaknya ini, apalagi dengan satu anaknya
yang memiliki kondisi tubuh yang sangat rentan. Namun ibu selalu berusaha untuk
mencari di mana ayah berada dan berusaha menghubunginya. Namun nihil.
Ayah akhirnya dating sebulan setelah
kematian Sylvi. Dia dating ke rumah dan mengucapkan bela sungkawa dengan membawa
istri dan anak-anak barunya. Adik tiriku. Bah, ayah macam apa itu.
Aku ingin sekali berteriak di depan
ayah dan memakinya. Karena kematian Sylvi salah satunya adalah karena salahnya.
Biaya pengobatan Sylvi sangat mahal dan ibu tak sanggup membiayainya, maka dari
itu, kami hanya mengandalkan bantuan dari saudara dan tetangga. Namun dasar
ibu, wanita yang kuat meskipun sudah disakiti, beliau tidak memperbolehkan aku
bertemu dengan ayah untuk mencegah emosiku meledak-ledak.
“Aku ingin bertemu dengan Clara,” ucap
ayah. Kudengar suaranya dari dapur. Ibu memintaku menunggu di sana.
“Clara sedang sibuk,” jawab ibu.
“Sibuk apa? Menangisi saudara
kembarnya?”
“Bukan. Dia…..” kata-kata ibu tak
sempat selesai karena aku sudah berdiri di depan pintu ruang tamu sambil
berurai air mata.
“Ayah…..” kataku lirih.
“Clara..” jawab ayah lalu berdiri dan
menghampiriku. Dia memelukku. Erat. Aku terdiam.
Plak. Tamparan mendarat di pipi pria
yang telah meninggalkanku sejak kecil itu. “Ayah jahat! Kenaoa ayah enggak
pernah mencoba menghubungi kami? Ayah jahat! Sylvi meninggal karena ayah!”
Semua terdiam. Hening. Aku menangis
sesenggukan lalu meninggalkan mereka dan lari ke sebuah tempat. Tempat di mana
aku dan Sylvi biasa bercerita bersama. Kami menyebutnya “goa rahasia”.
Goa ini terletak di tepi pantai dekat
rumahku. Aku bersembunyi di sana. Aku menangis. Dan tiba-tiba aku teringat
pesan Sylvi.
“Clara, kalau aku pergi dan kamu bias ketemu
ayah, baca ini ya,” kata Sylvi sehari sebelum dia meninggal.
“Ah, Clar, kamu lucu deh. Lagi sakit
gini kamu mau pergi ke mana? Palingan juga rumah sakit kan?” kataku sambil
menyahut selembar kertas yang dia berikan. Sylvi tersenyum. Dan memang benar,
keesokannya dia meninggal dalam perjalanan menuju rumah sakit.
Kubuka kertas yang selalu ada di saku
celanaku ini. Di sana ada tulisan Sylvi yang rapi:
Dear Clara,
Kalau kamu baca ini, berarti aku udah nggak ada di samping
kamu, udah nggak bias main sama kamu, dan udah nggak bias bercanda sama kamu. Tapi
inget, aku selalu ada buat kamu,Clar. Kita berdua memang bukan kembar identic.
Kamu jauh lebih sempurna dari aku. Tapi kita nggak akan bias terpisahkan. Karena
kita memiliki satu hati J
Aku punya permintaan terakhir nih…
Aku tau, kamu benci banget sama ayah. Tapi aku pengen titip
salam buat ayah dan tolong jangan marahin ayah karena udah ninggalin kita. Hehe..
Aku juga pengen banget ke Semarang, ikut ayah kerja di sana.
Aku tau ayah kerja di Semarang dari Budhe Laksmi. Tapi aku sengaja nggak mau
kasih tau kamu ataupun ibu. Tapi kamu juga tau kan, aku nggak bakalan bias ke
Semarang, jadi kumohon, Clara, kamu ikut ayah ya ke Semarang? Ya meskipun Cuma buat
berlibur atau nyelesain SMA di sana. Kamu lulus 2 tahun lagi kan? Kamu bias mulai
kelas 11 di sana. Aku yakin kamu pasti suka Semarang.
Tapi kalau kamu nggak mau juga nggak apa kok, aku Cuma mohon
aja J
Makasih ya kakakku sayang, Clara. Aku sayang kalian semua…
Salam sayang, Sylvi.
Kutekuk kertas itu dan aku terduduk
kaku. Kaget. Sedih yang 3 bulan ini kuberusaha sembunyikan akhirnya gagal. Ku menangis.
Lagi. Sylvi, kakak kangen kamu…
Keesokan paginya aku terbangun dengan ayah yang duduk di
samping tempat tidurku.
“Ha? Kenapa ayah di sini?” teriakku histeris.
Ayah hanya tersenyum dan berkata sambil mengacungkan selembar
kertas. Surat terakhir dari Sylvi, “ayah minta maaf sayang. Ayah khilaf. Ayah udah
ninggalin kamu, Sylvi, sama ibu. Ayah nyesel. Kamu mau ikut ayah ke Semarang?
Pesawat berangkat 5 jam lagi,” ujarnya sambil tersenyum lalu meninggalkanku. “Oh
ya, barangmu sudah dikemas ibu.”
Apa? Barangku sudah di kemas ibu? Aku ke Semarang? Oh,Tuhan,
bangunkan aku dari mimpi. Kugigit bibirku dan kutampar pipiku. Tapi rasanya
sakit. Dan itu berarti, aku tidak bermimpi.
Aku segera berlari ke dapur dan kutemui ibu yang sedang
bercengkerama sambil tertawa dengan ayah dan Tante Lusi, ibu tiriku. Aku hanya
melongo. Oh, Tuhan. Apa yang terjadi?
Di ruang tamu, kulihat banyak koper dan tas yang berjejeran. Dan
ku temui beberapa adalah tas dan koperku. Oh….
Di tengah kebingunganku melihat barangku yang sudah dikemas
rapi, ibu muncul dari belakangku dan memelukku, “Sayang, kamu harus ke
Semarang. Kamu harus belajar mengikhlaskan Sylvi.”
Aku masih tidak mengerti. Aku sudah mengikhlaskan Sylvi. “Aku
sudah mengikhlaskan dia bu! Lihat saja. Nilaiku sekarang jadi bagus, aku
mendapat juara kelas. Aku menjadi anak yang rapid an rajin. Aku tidak pernah
keluyuran malam lagi.”
Ibu tersenyum, “Kamu melakukan itu
bukan karena kamu sudah mengikhlaskan Sylvi. Tapi justru sebaliknya, kamu
melakukan itu karena merindukan Sylvi. Kamu berusaha menampilkan Sylvi di hidupmu
dengan berubah menjadi Sylvi.”
Aku terdiam. Benar kata ibu. Dulu aku adalah anak yang
biasa-biasa saja, anak yang sangat tidak rapi, dan aku sering keluyuran malam. Beda
dengan Sylvi. Tapi semenjak meninggalnya, aku berusaha untuk menjadi sama
seperti Sylvi. Dan aku berubah menjadi Sylvi dan kehilangan Clara yang dulu.